Labels

Wednesday, February 15, 2017

Pak SBY Jangan Bawa Negeri Ini Ke Jurang Kehancuran



"Pak SBY jangan bawa kami ke jurang kehancuran, ingat sapa salah seleh, becik ketitik ala ketara", 

Permohonan ini ditulis untuk memohon kepada Bapak Susilo Bambang Yudhoyono mantan Presiden. Jangan bawa NKRI tercinta ini seperti Suriah, Irak, Mesir dan Nigeria. Kami ingin Bumi Pertiwi ini menjadi Negara yang "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, bukan menjadi negara yang hancur porak poranda seperti Suriah, Irak.

Pak SBY yang terhormat, pepatah Jawa sudah jelas menyatakan "sapa salah seleh, becik ketitik ala ketara", sehingga sebagai Negarawan Sejati harusnya tidak menebarkan ujaran yang mengarah pada kehancuran bangsa ini. Cuitan di twitter dan status facebook yang telah anda tumpahkan itu merupakan bentuk "kekanak-kanakan", "kecengengan".

 SBY: "Sulit untuk Tidak Mengatakan, Fitnah yang Dilancarkan Antasari Terkait Pilkada"*SBY*


Harusnya secara bijak langsung mengkonter pernyataan Antasari Azhar itu dengan pers converence dan langsung dilaporkan ke Mabes Polri bahwa itu tidak benar dan merupakan pencemaran nama baik. Bukan dengan berteriak-teriak di akun media sosial. Tunjukkan dengan gentlemen bahwa anda bersih, dan jika memang telah melakukannya anda harus akui dengan jantan seperti pitutur para pepunden, pinisepuh Jawa dahulu bahwa "sapa salah seleh", sehingga permasalahan ini menjadi tidak berlarut-larut dan cepat diselesaikan dengan lancar, Contohlah Pak Jokowi yang kerempeng itu, namun kekuatannya sebesar Gajah, keberaniannya sebesar Singa sang Raja Hutan, bukan dengan berteriak-teriak di media sosial. Anda tidak perlu takut, karena kebenaran tetap kebenaran dan menjadi hak bagi yang telah berbuat benar, ingat "becik ketitik ala ketara", tentu anda paham maksudnya, namun saya jelaskan sekali lagi buktikan bahwa anda "becik" maka akan "ketitik" dapat diketahui, sepandai apapun jika apa yang dikatakan oleh Antasari Azhar itu benar, maka bagaimanapun anda harus terima bahwa "ala ketara", semua akan kelihatan secara terang benderang.

"Kita terus dibeginikan. Apakah yang kuat memang harus terus menginjak-injak yg lemah? Marilah kita mohon pertolongan Allah Swt. *SBY*


Apakah salah jika mantan ketua KPK Antasari Azhar mengatakan hal tersebut?, telah lama dia menuntut keadilan, atas perbuatan yang tidak dilakukannya, dijatuhkan hukuman kepadanya, berapa kali dia memohon keadilan, berapa kali ditolak. baru era Jokowi ini dia mendapat keadilan yang seadil-adilnya. Barang bukti yang tidak dapat ditunjukkan saat sidang, SMS yang tidak bisa ditunjukkan saat sidang, ancaman terhadap dirinya, keluarganya, semua sudah dijelaskan sejelas-jelasnya, namun semua mentok, semua ditolak oleh Pemerintah dalam hal ini era kekuasaan berada dilingkaran SBY.

 Teman-teman seperjuangan, memang saya tak punya kuasa, tetapi akan saya hadapi. Jangan menyerah & lanjutkan perjuangan *SBY*

Kemana SBY waktu itu?, saat itu kekuasaan penuh ada ditangan SBY, permasalahan yang harusnya bisa dijalankan seadil-adilnya, namun seperti menutup mata. pembiaran inilah yang menyebabkan Antasari Azhar berteriak di depan awak media sosial, "cacing bae diidak mrogel", cacing saja jika diinjak akan menggeliat, akan melawan, walau pun lemah tak berdaya, tetapi memiliki keberanian untuk melawan, bukan mengeluh dan menggerutu di media sosial. satu-satunya langkah yang harus ditempuh saat ini adalah menunjukkan bahwa SBY tidak bersalah, tunjukkan bukti-bukti valid, berteriak ke sana ke mari hanya akan memperkeruh negara ini. Seharusnya SBY tidak membawa bangsa ini ke jurang kehancuran. selama 10 tahun berkuasa sisa hutang dan pembangunan inprastruktur yang mangkrak di sana sini, belum lagi para bawahan dan kader-kader politiknya satu demi satu masuk ke penjara menjadi narapidana. Bentuk keadilan yang diminta SBY sudah diberikan namun mengapa masih meradang dan meratap bahwa ini bentuk ketidak-adilan dari rezim yang baru.     

  "Saya bertanya, apakah Agus Yudhoyono memang tak boleh maju jadi Gub Jakarta? Apakah dia kehilangan haknya yg dijamin oleh konstitusi?" *SBY*

Pertanyaan yang harusnya malu untuk ditanyakan, sebab menuduh Antasari Azhar yang jelas-jelas tidak menyinggung masalah Pilkada mengapa diangkat?, harusnya fokus kepada tuduhan terhadap dirinya bukan dibelokkan inti permasalahannya. Apakah Agus Harimurti Yudhoyono kehilangan hak nya mencalonkan?, sampai detik ini masih bisa menunggu, dan suara rakyat telah diberikan. Apa masih kurang?, Apakah bentuk keadilan adalah sesuai dengan keinginan pribadi dan kelompok dengan mengabaikan kepentingan umum. Pemaksaan kehendak seperti yang telah dilakukan oleh Riziek Shihab dengan pasukan FPInya yang memaksakan kehendak dengan berpayung agama dianggap sebagai bentuk pembelaan. Ingatlah bagaimana Bazar Ashad yang begitu keras langsung menggebuk kelompok garis keras yang menentangnya, hasilnya adalah kehancuran negara itu. Apakah NKRI dimana masyarakatnya yangn tertenal dengan ujaran santun dan berbudi luhur ini akan terkena imbas dari pemaksaan kehendak berembel-embel terzolimi. harusnya bentuk perjuangan menggunakan koridor hukum yang berlaku. laporkan pencemaran nama baik, ikuti pemeriksaan dengan tertib, bukan ngeles berbagai alasan dan tidak hadir seperti Riziek yang dipanggil oleh Kapolda Jabar itu.   

"Tuduhan Antasari seolah saya sebagai inisiator kasusnya, jelas tidak benar. Pasti akan saya tempuh langkah hukum thd Antasari" *SBY* 

"Becik ketitik ala ketara", walau pun Antasari Azhar menuduh dengan berbagai cara, jika tidak melakukan mengapa mesti takut? kejelekan yang tidak dilakukan tentu tidak akan ada bukti yang mendukungnya. ingat saat sekarang hukum tidak bisa ditekuk sesuai kebutuhan. Hukum akan berjalan sesuai koridor yang benar. kapolri Tito Karnavian dan Presiden Jokowi suah menunjukkan bagaimana beliau-beliau ini menempatkan hukum diatas kebenaran, bukan menempatkan hukum diatas kepentingan.

Monday, February 13, 2017

STRATEGI POLITIK PANDAWA DAN KURAWA PADA PILKADA DKI JAKARTA



Kondisi politik pasca masa TENANG Pilkada DKI Jakarta saat ini terasa panas. Pilkada DKI Jakarta sebagai barometer politik mempengaruhi perpolitikan di seluruh wilayah NKRI. Kemenangan Jokowi yang diusung PDIP dalam Pilpres tahun 2014 sangat mendorong tokoh-tokoh politik dan Partai Politik untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta ini.

Partai Demokrat, PAN dan PKB mengusung Agus Harimurti Yudhoyono berpasangan dengan calon wakilnya Silfiana Murni sebagai bukti betapa kuatnya nafsu politik partai tersebut untuk memenangkan Pilpres tahun 2019. Walaupun belum di wacanakan di depan publik namun masyarakat dan rakyat Indonesia sudah bisa membaca kemana arah politik sesuangguhnya dari mengusung AHY tersebut. 

Mengapa memilih AHY bukan yang lainnya?, tentu Demokrat memiliki strategi tersendiri, faktor penentunya adalah banyaknya tokoh-tokoh elit Demokrat sebagian besar tersandung kasus korupsi, termasuk Ibas yang juga putra mantan Presiden SBY tidak diangkat untuk menjadi calon Gubernur dengan asumsi bahwa dia sering disebut-sebut oleh orang-orang Demokrat yang telah ditetapkan menjadi narapidana maupun tersangka korupsi. Nasarudin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondag dan lain-lain sangat sering menyebutkan nama Ibas dalam setiap kesaksiannya. Maka SBY tidak mengambil resiko dengan mencalonkannya. 

Strategi politik SBY ini sangat beresiko sekali. Sebab calon yang diusung yaitu Agus Harimurti Yudoyono tidak memiliki latar belakang di politik, karir emasnya ada di militer dengan pangkat terakhir Mayor. Gambling dimainkannya Agus Harimurti Yudoyono tentu dengan alasan kuat bahwa dia adalah satu-satunya yang masih dianggap bersih. Selain itu dia yang menantu Hatta Rajasa petinggi PAN tentu memiliki nilai jual tersendiri, dengan asumsi bahwa PAN dan koleganya akan memilih calon yang diusungnya. Rupanya SBY lupa bahwa Prabowo Subiyanto dengan pasukan Gerindra yang dibantu oleh koalisi gemuk saja yaitu Koalisi Merah Putih, dimana bercokol ahli-ahli politik militan dari berbagai partai bisa hancur cerai berai, maka dengan mengandalkan Demokrat, PAN dan PKB kiranya sangat meragukan keberhasilannya. Apalagi Gerinda dan PKS sudah mempunyai calon tersendiri yaitu Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, maka resiko kekalahan sudah didepan mata. 

Namun yang menentukan adalah rakyat DKI Jakarta, dimana 85% penduduk Jakarta beragama Islam maka mayoritas pemilih diarahkan untuk memilih pemimpin Islam juga, strategi jitu yang dianggap bisa menarik minat umat Islam adalah dengan menggoreng isu-isu keagamaan, khususnya agama Islam. Tidak salah jika SBY menggandeng Rizieg Shihab dengan laskar FPI yang terkenal sebagai organisasi garis keras, dan organisasi keras semacam ini sangat-sangat dibutuhkan untuk membentuk opini publik bahwa calon yang diusung adalah yang terbaik diantara yang baik.  

Prinsip politik dua kaki kemungkinan bisa dipakai oleh Rizieq Shihab, dengan SBY menggandengnya, namun Anis sudah menyatakan meminta dukungan kepada FPI sebagai jalur basis massa yang diminta mendukungnya. tentu tidak ada makan siang yang gratis, tentu Anis dengan Sandiaga Uno yang memiliki modal besar harus mengeluarkan kocek jika meminta dukungan FPI dan ini bisa dijadikan ladang subur bagi FPI untuk mendapatkan pundi-pundi dalam menjalankan organisasinya.  

Selain itu mari lihat kemampuan Agus yang gaya bicaranya mengambang dan menghapal materi debat dilihat oleh publik DKI sebagai sosok yang tidak mampu memimpin Jakarta. Ditambah dengan calon wakilnya Sylvi yang tersangkut korupsi akan semakin membuat warga DKI menjauhi Agus dan SBY. Publik Jakarta tidak mau kalau kota mereka akan kembali menjadi kota rimba, kota mafia, kota para koruptor selama lima tahun ke depan. Oleh karena itu sampai kiamatpun, Agus tak akan menang di Pilgub DKI 2017. Agus akan tersingkir. 

Lalu bagaimana dengan Anies?, kualitas Anies bisa dilihat dari debat dan program-program awang-awangnya. Dalam debat Anies Baswedan gagal menunjukkan kemampuan kualitas manajerial dan intelektualitasnya dengan aneka jawaban yang hanya berupa utopi dan sindiran. Anies hanya mengambar-gemborkan subisidi, gratis ini dan itu yang disimpulkan dengan up-grade manusia dan lukisan kampung indahnya di bantaran sungai.

Bisa dipastikan bahwa masyarakat Jakarta tidak akan tergerak hatinya memilih calon yang kemampuan manajerialnya rendah dan kalah sama Menteri Susi. Anies diyakini tidak mampu mengurusi Jakarta dengan segudang problematikanya. Hal itu bisa dilihat ketika Anies tidak becus mengurusi satu kementerian saja. Anies diyakini dan dipastikan tidak mampu menjadi Gubernur DKI Jakarta yang berhasil. Apalagi Anies melakukan blunder dengan mengunjungi dan bermesraan dengan FPI yang sarat dengan kontroversial.

Penetepan Rizieq FPI sebagai tersangka, ditambah dengan kasus heboh dahsyat kasus firza hots, plus ditekuknya Munarman dan sekarang Backhtiar Natsir dalam bidikan Tito, telah membuat warga DKI Jakarta berbalik dari jangkauan Anies. Jelas masyarakat Jakarta banyak yang tidak suka dengan FPI. Dan karena Anies telah bermesraan dengan FPI, maka warga Jakarta menjauh dari Anies.

Demo yang berbungkus doa dan jalan santai tanggal 11 Februari 2017 hari ini, bisa dipastikan akan dikendalikan penuh oleh Polri dan TNI. Apalagi demo-demo itu jumlahnya sudah jauh menyusut akan memudahkan Polri dan TNI mengawasinya. Menjelang hari pencoblosan popularitas Ahok dipastikan akan terus naik.  

FPI dengan rencana demo 211nya gagal melakukannya dengan larangan oleh pihak kepolisian, maka langkah yang bisa diambil hanya doa bersama dengan berbagai bentuk kegiatannya. Hal yang sangat mengagetkan SBY dalam kegiatan 211 di Masjid Istiglal ini adalah kehadiran Anis Baswedan.

Kehadiran Anis Baswedan adalah tamu yang tidak diundang oleh kelompok Cikeas sebab diharapkan dalam kegiatan itu nama Agus akan dapat digaungkan, maka dengan kehadiran Anis usaha itu tentu akan mengalami kesulitan dan satu-satunya cara hanya bisa mengatakan “pilihlah pemimpin muslim” hanya itu tidak ada tambahan yang lain. Rupanya SBY lupa bahwa Rizieq Shihab telah digandeng oleh Anis Baswedan, dan dalam acara yang diselenggarakan hari ini sabtu 11 Pebruari 2017 yang paling diuntungkan adalah Rizieg Shihab bukan Agus atau Anis. Rizieq Shihab bisa menggalang simpati dari dua kubu yang berseberangan. 


SBY dan kubu paslon I maupun Paslon lainnya tentu sangat sibuk menyusun strategi politik untuk memenangkan Pilkada DKI ini. Langkah startegis mereka rancang dan susun dengan sangat teliti dan terstruktur. langkah apa yang dianggap tepat dan mampu memenangkan Pilkada yang sangat urgen ini. Sebab dengan memenangkan Pilkada DKI maka Pintu untuk menduduki RI 1 sudah didepan mata, walau itu hanya angan-angan yang membius harapan dan keinginan. 

Bicara tentang strategi tentu ada strategi baik dan strategi buruk atau jahat. Dalam cerita Pewayangan Kurawa jelas tokoh dengnan karakter antagonis, sedangkan pandawa adalah tokoh Protagonis.Marilah sejenak menganalisa tokoh kurawa dan pandawa dalam pewayangan untuk menilai tiga paslon gubernur DKI tahun 2017 ini.
 


Pandawa VS Kurawa 

Korawa atau Kaurawa adalah istilah dalam bahasa Sanskerta yang berarti "keturunan (raja) Kuru". Dalam budaya pewayangan Jawa, istilah ini merujuk kepada kelompok antagonis dalam wiracarita Mahabharata, sehingga Korawa adalah musuh bebuyutan para Pandawa. Istilah Korawa yang digunakan dalam Mahabharata memiliki dua pengertian:

Arti luas korawa merujuk kepada seluruh keturunan Kuru. Kuru adalah nama seorang maharaja yang merupakan keturunan Bharata, dan menurunkan tokoh-tokoh besar dalam wiracarita Mahabharata. Dalam pengertian ini, Pandawa juga termasuk Korawa, dan kadangkala disebut demikian dalam Mahabharata, khususnya pada beberapa bagian awal.
Arti sempit Korawa merujuk kepada garis keturunan Kuru yang lebih tua. Istilah ini hanya terbatas untuk anak-anak Dretarastra, sebab Dretarastra merupakan putra sulung Wicitrawirya (keturunan Raja Kuru), yang berhak menjadi raja menurut urutan kelahiran namun digantikan oleh adiknya, Pandu, karena Dretarastra buta. Istilah ini tidak mencakup anak-anak Pandu, yang mendirikan garis keturunan baru, yaitu para  

Pandawa kata daripada bahasa Sanskerta Pāṇḍava, yang secara harfiah berarti anak Pandu yaitu salah satu Raja Hastinapura dalam wiracarita Mahabharata. Dengan demikian, maka Pandawa merupakan putra mahkota kerajaan tersebut. Dalam wiracarita Mahabharata, para Pandawa adalah protagonis sedangkan antagonis adalah para Korawa, yaitu putera Dretarastra, saudara ayah mereka (Pandu).

Menurut susastra Hindu (Mahabharata), setiap anggota Pandawa merupakan penjelmaan (penitisan) dari Dewa tertentu, dan setiap anggota Pandawa memiliki nama lain tertentu. Misalkan nama "Werkodara" arti harfiahnya adalah "perut serigala". Kelima Pandawa menikah dengan Dropadi yang diperebutkan dalam sebuah sayembara di Kerajaan Panchala, dan memiliki (masing-masing) seorang putera darinya.

Para Pandawa merupakan tokoh penting dalam bagian penting dalam wiracarita Mahabharata, yaitu pertempuran besar di daratan Kurukshetra antara para Pandawa dengan para Korawa serta sekutu-sekutu mereka. Kisah tersebut menjadi kisah penting dalam wiracarita Mahabharata, selain kisah Pandawa dan Korawa main dadu. Para Pandawa terdiri dari lima orang pangeran, tiga di antaranya (Yudistira, Bima, dan Arjuna) merupakan putra kandung Kunti, sedangkan yang lainnya (Nakula dan Sadewa) merupakan putra kandung Madrim, namun ayah mereka sama, yaitu Pandu.

Tata Pemerintahan Kerajaan

Sebuah negara dalam kerajaan di Pimpin oleh seorang Raja yang dibantu oleh Bangsawan yang diberi jabatan untuk membantu tata kelola kerajaan. Dalam cerita pewayangan sebuah kerajaan di pimpin oleh Raja yang dibantu:
1.  Patih
Patih adalah jabatan Perdana Menteri pada kerajaan. Selanjutnya istilah tersebut menyebar sampai sekarang ini, jabatan ini dalam suatu provinsi lebih kurang sama dengan jabatan Sekretaris Daerah Provinsi.

2.  Senopati
Senopati adalah Panglima Tertinggi, pemimpin yang paling tinggi kedudukan dan kewenangannya dalam angkatan bersenjata  disuatu kerajaan. Jaman kerajaan di nusantara senapati atau senopati adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jabatan panglima dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Istilah ini merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu sena yang bermakna "prajurit" dan pati yang bermakna "pemimpin".
Istilah senapati tidak hanya digunakan pada masa kerajaan Hindu-Buddha saja, tetapi masih dilestarikan ketika kerajaan-kerajaan Islam berdiri di Pulau Jawa, misalnya Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram. Bahkan, raja pertama Mataram yang bernama Sutawijaya menggunakan gelar Panembahan Senapati ketika naik takhta. Gelar senapati juga dipakai secara turun-temurun oleh para pengganti Sutawijaya seperti Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma Senapati ing Alaga Mataram.


3.  Rakyat
Kerajaan Hindu dalam sebuah kerajaan rakyat dibagi menjadi empat golongan, yaitu; Brahmana, Kesatria, Wesiya dan Sudra.

Strategi Politik dan Militer

Strategi dalam hal ini adalah yang mengulas taktik-taktik politik dan kemiliteran. Strategi perang memuat strategi penggunaan pertempuran untuk mencapai tujuan perang. Strategi adalah kunci pelaksanaan perang dan dikuasai oleh prinsip-prinsip. Ditinjau dalam hal mengulas masalah strategi. Setiap kebudayaan hampir selalu memiliki dasar teks yang menjadi paduan seperti contohnya strategi politik pecah-belah atau politik adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan. 

Grand Strategi disebut juga Strategi Raya terdiri dari "tujuan kerja dari semua instrumen kekuasaan tersedia bagi komunitas keamanan". Grand strategi militer, yaitu operasi militer taktik logistik, Militer Perang Dingin adalah perang yang tidak ada penggunaan kekerasan. Strategi militer didefinisikan sebagai "kerja pertempuran untuk mendapatkan akhir perang." 

Strategi gerilya atau strategi perang gerilya. Perang Gerilya merupakan terjemahan dari bahasa Spanyol: guerrilla yang secara harafiah berarti perang kecil. Gerilya adalah salah satu strategi perang.

Taktik perang. Dalam medan pertempuran meskipun strategi perang yang sudah terkoordinasi baik, strategi militer yang tepat, dan strategi operasi yang terancang baik.  

Dalam pewayangan tokoh-tokoh yang sangat jenius dalam mengatur strategi perang adalah Prabu Kresna, Patih Sangkuni, Begawan Durna, Adipati Karna.

Kresna, Sang Arsitek Kemenangan Pandawa 

Kresna sang raja Dwarawati dalam kisah pewayangan adalah titisan Dewa Wisnu yang bertugas melindungi Pandawa yang mana di dholimi pihak Kurawa dan memenangkannya dalam perang Baratayuda. Sebelum perang dimulai Kresna tampil sebagai duta Pandawa ke Astina dalam rangka menyelesaikan konflik perebutan kerajaan Astina. Misi yang diemban Kresna adalah agar tidak terjadi perang. 

Pandawa minta setengah wilayah Astina kepada kurawa, andaikata tidak diberikan Pandawa rela hanya menerima lima wilayah pedesaan yaitu Awisthala, Wrekashala, Waranawata, Makandi, dan Awasana. Bagaimanapun Pandawa tetap menempuh jalan damai. Namun Duryadana menolak mentah-mentah permintaan Kresna, bahkan dengan seluruh kekuatan Kurawa berusaha membinasakan Kresna. Dalam keadaan terdesak Kresna berubah menjadi raksasa dan akan menghancurkan Kurawa, namun Batara  Narada mencegahnya dan menjelaskan bahwa menurut Serat Jitabsara perang Baratayuda harus terjadi. Akhirnya Kresna mengurungkan niatnya tersebut.

Sadar perang Baratayuda akan terjadi, dengan kepintarannya Kresna berusaha sedikit demi sedikit melemahkan posisi Kurawa antara lain dengan meminta Karna memihak Pandawa, namun merasa sadar bahwa dirinya berhutang budi kepada Kurawa dan lebih mementingkan Astina sekalipun Kurawa dipihak yang salah, Karna menolak permintaan Kresna tersebut. 

Demikian pula terhadap Baladewa kakaknya sendiri yang sebenarnya bersikap netral. Sadar sang kakak akan memihak Kurawa Kresna memohon Baladewa untuk bertapa di Grojogan sewu yang dijaga Setiyaki. Baladewa sendiri adalah satria yang senang melakukan tapa brata, dia tidak bisa menyaksikan keseluruhan berlangsungnya perang Baratayuda dan baru muncul disaat diakhir episode perang tersebut ketika Bima bertarung melawan Duryudana.

Dalam perang Baratayuda, Kresna memihak Pandawa. Ia dipilih Arjuna sebagai penasehat yang mana Kresna tidak diperbolehkan mengeluarkan senjata untuk berperang langsung dengan pihak Kurawa, sementara pasukannya yang berjumlah besar dipilih Duryudana menjadi bagian dari pasukan Kurawa. Pilihan yang dijatuhkan Duryudana membuat Sengkuni marah kepada Duryudana baginya apalah arti pasukan yang besar jika tidak melibatkan pengatur strategi yang ulung sekaliber Kresna. 

Kresna pada waktu perang memposisikan diri sebagai kusir kereta Arjuna. Kresna juga memantapkan hari Arjuna yang masih ragu-ragu melihat orang-orang yang dihormatinya seperti Bisma dan Durna berada dipihak Kurawa. Arjuna mendapatkan lawan yang sepadan yaitu Karna yang tak lain kakak tertuanya sendiri. Kereta Karna dikemudikan mertuanya sendiri yaitu Prabu Salya. 

Prabu Salya sebenarnya tidak ingin Baratayuda terjadi sehingga dalam mengemudikan kereta Karna ia setengah hati sampai pada suatu ketika roda kereta Karna terjerembab dalam tanah. Mengetahui hal tersebut Kresna menyuruh Arjuna segera melepaskan senjata Pasopati. Pada awalnya Arjuna tidak mau karena hal tersebut bukan tindakan ksatria. Namun Kresna menjelaskan bahwa Karna salah satu orang yang membunuh Abimanyu, putra Arjuna, maka Arjuna segera melepaskan anak panah Pasopati mengenai leher Karna yang mengakibatkan kematian Karna. Arjuna sebenarnya menyesali tindakannya tersebut. Prabu Salya sendiri tewas ditangan Puntadewa. 

Ketika Prabu Salya maju ke medan perang, Pandawa kewalahan menghadapi Candrabirawa ilmu Prabu Salya berupa kemampuan memanggil raksasa yang apabila terluka oleh musuhnya jumlah bertambah banyak. Kresna yang tahu bahwa ilmu itu hanya bisa dihadapi orang suci hati dan sabar seperti Puntadewa maka ia segera menyuruh Puntadewa menghadapinya. Puntadewa sendiri sebenarnya tidak mau karena dalam Baratayuda ia tidak akan turun gelanggang. Pada saat itu arwah Resi Bagaspati masuk ke tubuh Puntadewa bermaksud mengambil Candrabirawa miliknya. Puntadewa yang telah dirasuki kemudian melempar Jimat Kalimasada dan mengenai dada Prabu Salya. Prabu Salya akhirnya gugur.

Tindakan Kresna meskipun terkesan kejam namun demi kemenangan Pandawa, ia lakukan yaitu ketika melihat Antasena anak Bima. Antasena mempunyai kesaktian yang luar biasa, ia bisa membunuh seseorang dengan cara menjilat bekas telapak kakinya di tanah. Tentunya Kresna melihat apabila hal tersebut dilakukan Antasena dalam mengalahkan lawannya akan berbahaya, bisa jadi yang dijilatnya tersebut bekas telapak kaki pihak Pandawa sendiri. Kresna kemudian menyuruh Antasena menjilat sebuah bekas telapak kaki. Namun Antasena tidak sadar kalau yang dijilatnya bekas telapak kakinya sendiri. Akhirnya Antasena mati dengan cara tersebut.

Duryudana  juga terpedaya kepintaran Kresna. Hampir selesainya perang Dewi Gandari, ibu para Kurawa sedih mendengar hampir seluruh anaknya tewas dan hanya tersisa Duryudana. Dewi Gandari yang selama menjadi ibu para Kurawa selalu menutup matanya, bisa memberikan kekuatan yang dahsyat kepada Duryudana. 

Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryudana, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryudana agar mandi dan menghadapnya dalam keadaan telanjang. Ketika Duryudana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna . Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryudana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya. Begitu membuka matanya, Dewi Gandari hanya bisa memberikan kekuatannya ke bagian tubuh Duryudana yang tidak tertutup.

Pandhita Durna, Senopati Perang yang Bimbang

Setelah gugurnya Sang Resi Bhisma oleh prajurit wanita yang juga istri Arjuna, Wara Srikandi, Duryudana gelisah. Hal yang wajar mengingat Bhisma adalah orang yang dikenal sangat sakti, melebihi Bima maupun Arjuna. Bhisma juga sudah menghabisi tiga senopati pihak Pandawa yaitu Seta, Utara, dan Wratsangka. Apalagi Bhisma dikenal mempunyai ajian yang membuat Bhisma tidak bisa mati jika itu bukan kehendaknya sendiri. Tetapi Bhisma mati oleh prajurit wanita yang sebenarnya tidak begitu sakti jika dibandingkan dengan Bhisma. Tentu saja kita lalu ingat bahwa kekalahan Bhisma dari Srikandi ini karena kejadian masa lalunya. Tetapi, dalam tulisan ini yang akan kita bicarakan adalah pengganti dari Bhisma sebagai senopati perang, yaitu Pandhita Durna. 

Ketika Prabu Duryudana mengumumkan bahwa pengganti Resi Bhisma adalah Pandhita Durna, lalu muncul bisikan-bisikan di kalangan pasukan Kurawa. Mereka agak meragukan kemampuan Durna dalam berperang. Hal ini membuat petinggi-petinggi Kurawa berusaha menjelaskan kepada pasukan Kurawa kenapa Durna yang disepakati sebagai pengganti Bhisma.

Sebenarnya adalah hal yang wajar menunjuk Durna sebagai senopati perang. Durna adalah guru ilmu kanuragan bagi Pandawa dan Kurawa. Durna adalah yang mengajari Bima dan Duryudana bermain Gada. Durna jugalah yang mengajari Arjuna panahan, sehingga kita ketahui Arjuna adalah pemanah yang handal. Bahkan Adipati Karna sebenarnya juga berguru kepada Durna, walaupun Karna hanya mengintip dan sembunyi-sembunyi karena dia hanya anak kusir kerajaan Astina. Apalagi Durna dan Bhisma itu sebenarnya mempunyai guru yang sama, yaitu Rama Parasu. Walaupun diceritakan Durna hanya diajari oleh Rama Parasu ilmu peperangan atau kemiliteran.

Patih Sengkuni Ahli Strategi yang munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat

Satu tokoh yang memiliki strategi perang hebat adalah Sengkuni, Shakuni, Sangkuni atau Saubala (patronim dari Subala) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu. Menurut Mahabharata, Sangkuni merupakan personifikasi dari Dwaparayuga, yaitu masa kekacauan di muka Bumi, pendahulu zaman kegelapan atau Kaliyuga.

Dalam cerita Wayang Mahabarata Sengkuni adalah Mahapatih sekaligus merangkap penasehat raja di Kerajaan Astina yang dikuasai keluarga Kurawa. Patih Sengkuni terkenal dengan prinsip hidupnya yang ekstrem: biarlah orang lain menderita yang penting hidupnya bahagia. Dengan prinsip hidup seperti itulah Sengkuni menjalani karirnya: munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat.

Adipati Karna Sang Martir Oportunis 

Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu. Oportunisme adalah tindakan bijaksana yang dipandu terutama oleh motivasi mementingkan diri sendiri.

Dalam pertemuan agung Kerajaan Astina menjelang kedatangan duta Pandawa, Prabu Kresna, yang datang untuk meminta hak Pandawa kembali. Prabu Duryudana telah meminta pendapat para sesepuh dan penasehat Astina tentang apa yang harus dia lakukan. Resi Bhisma berpendapat dengan ekstrim, yaitu meminta seluruh wilayah Astina dan Amarta dikembalikan kepada Pandawa. Satu usul yang jelas akan ditolak oleh Duryudana. Pandita Dorna berpendapat untuk membagi dua wilayah, yaitu dengan mengembalikan Amarta kepada Pandawa dan Astina tetap menjadi milik Duryudana. Usul yang sebenarnya paling masuk akal untuk diterima. 

Selanjutnya Prabu Salya, Raja Mandaraka, yang juga mertua Duryudana berpendapat selaras dengan Resi Bhisma. Tetapi, dia memberikan solusi yang konkrit, karena menawarkan Kerajaan Mandraka untuk dipimpin oleh Duryudana. Lagi pula, menurut Salya, luas wilayah Mandaraka tidak kalah dengan Astina baik dari segi kekayaan maupun jajahan.

Saat Duryudana sedang mempertimbangkan mana yang akan dipakai. Tampilah dua orang “kompor” dalam pertemuan agung itu. Pertama, tidak lain dan tidak bukan dia adalah Sang Patih Sengkuni. Perdana Mentri Astina itu dengan segala ambisinya menyatakan bahwa, tidak perlu memberikan apa pun kepada Pandawa. Astina dan Amarta, menurut Sengkuni, harus tetap menjadi milik Kurawa. Menilik sikap Sengkuni selama ini, apa lagi dia jugalah aktor di balik lakon Pandawa Dadu, adalah wajar dan tidak nggumun jika dia berpendapat seperti itu. 

Kedua, Adipati Karna mengutarakan pendapatnya.  Karna seratus persen mendukung pernyataan Sengkuni. Bahkan tidak hanya itu, dia malah menunjuk bahwa Bhisma, Durna, dan Salya merupakan musuh dalam selimut. Karena, hati mereka lebih cenderung untuk berpihak kepada Pandawa walaupun fisik mereka berada di Kurawa. Tentu saja pendapat ini memicu ketegangan di pertemuan agung itu, apalagi dengan gaya bicaranya yang cenderung terdengar congkak, dia seolah menantang tanding mertuanya sendiri Prabu Salya. Ketegangan berlangsung sampai akhirnya Prabu Kresna datang.

Strategi Politik Pilkada DKI Jakarta

Pilkada DKI Jakarta yang mengusung tiga pasangan calon yaitu Calon I Pasangan Agus Harimurti Yudhoyono dan Silviana Murni, Calon II Ahok dan Jarot sebagai pasangan Petahana dan yang Calon III adalah Anis Baswedan dan Sandiaga Uno.

"Siapakah yang memiliki strategi politik  dalam pemenangan Pemilukada DKI Jakarta ini yang bisa disamakan dengan Prabu Kresna, Begawan Dorna, Patih Sengkuni, dan Adipati Karna?".

Deretan tokoh-tokoh politik politik berseliweran dalam berbagai even yang secara langsung dan tidak langsung sangat mempengaruhi asumsi publik untuk memilih pasangan yang telah mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta pada periode 2017-2022.

Masing-masing tentu sangat kentara sekali dalam memilih paangan calon tersebut, baik secara langsung maupun hanya melalui media sosial. Status di akun facebook dan cuitan di twitter menjadi perang terbuka mengadu argumen, menyampaikan gagasan calon, maupun memfitnah dan menyudutkan lawan politik maupun orang yang tidak disenanginya.

Seharusnya dalam perang terbuka ini baik pendukung I, II dan III akan saling menyerang, namun terjadi fenomena aneh dan menarik untuk disimak.
Banyak sekali oportunis-oportunis yang mencari kesempatan dalam kesempitan untuk meraih keuntungan pribadi maupun keuntungan pasangan calon yang disukainya. 
    
Gambar diatas menunjukkan Pasangan I menyerang pasangan II dan III untuk meraih kemenangan, Pasangan II menyerang pasangan I dan III untuk meraih kemenangan, dan Pasangan III menyerang pasangan I dan II untuk meraih kemenangan. Maka strategi perangn terbuka ini termasuk wajar dan sah-sah saja, sebab masing-masing pasangan melakukan penyerangan secara adil dimana berusaha membuat pasangan lawan menjadi kalah. 

namun fenomena yanng terjadi justru sebaliknya, mereka bahkan bisa dikatakan melakukan perang keroyokan, dimana Pasangan I dan Pasangan III secara bersama-sama melakukan penyerangan kepada Pasangan II. 



Melihat gambar bagan diatas bisa menimbulkan asumsi yang beraneka ragam. 
  1. Pasangan I dan III kelihatan sangat ketakutan dengan Pasangan II yang Incumben, dimana telah membuktikan kepada rakyat akan jalannya pemerintahan yang diembannya sangat baik, sehingnga mereka mengambil inisiatif, jika bisa mengalahkan pasangan ini, maka jika satu putaran setidaknya salah satu dari mereka akan menang, namun jika harus dua putaran maka mereka memiliki kesempatan untuk bertarung kembali.
  2. Kerugian jelas terlihat pada pasangan II sebab sangat berat sekali melawan gempuran fitnah dan hal-hal yang menjelek-jelekkan mereka, kasus dakwaan penistaan agama, demo sampai episode I, II, III dan kemarin tanggal 11 Pebruari 2017 yang rencanaya akan diadakan demo berganti dengan doa, namun merupakan jenis serangan terbuka yang mereka lakukan secara bersama-sama, hal ini dibuktikan dengan kehadiran Anis dan Agus, bahkan kelihatan sekali bahwa Agus menyokong dana dengan membawa berbagai macam konsumsi yang diusung dengan mobil putihnya.
  3. Kemampuan Ahok-Jarot benar-benar ditantang dan mereka harus menunjukkan bahwa dirinya memang benar-benar calon yang berkualitas. dan Jika masyarakat tidak terpengaruh dengan adanya black campaig, tentu kemenangan satu putaran justru akan benar-benar menjadi kemenangan super indah bagi pasangan ini.    
Pertanyaan besar berjubel di angan-angan, siapakah sang maestro strategi perang dalam Pilkada DKI ini. 

Akankah Sang Kresna yang Bijaksana yang akan memenangkannya ?
Akankah Sengkuni si licik yang akan memenangkannya?
Akankah Adipati Karno si oportunis yang akan memenangkannya?
dan siapakah mereka?

Kiranya pertanyaan ini hanya masyarakat Jakarta yang akan menentukan, dan Tuhanlah yang akan memutuskan siapa mereka yang akan memimpin DKI Jakarta.

Ibukota yang damai dan tenangn, maju pesat pembangunannya adalah dambaan seluruh warga Jakarta dan Indonesia pada umumnya. marilah memilih secara bijak, tidak memilih calon yang akan menyengsarakan, pilihlah calon yang akan membawa DKI Jakarta pada kemajuan dan keadilan.

Baca Juga

Waspadalah Calon Baik Bisa Kalah Sama Botoh

Heboh Cara Presiden Jokowi Menjawab Pertanyaan SBY

Pilkada Janjimu Gombal Mukiyo

Politik Busuk Hancurkan Negara

Standar Ganda Fadli Zon Dalam Menilai Fahri Hamzah dan Ahok